Ilmu pengetahuan dan informasi adalah ibarat senjata api, apabila ditangan polisi yang baik senjata tersebut dapat untuk melindungi harta benda bahkan jiwa kita, namun apabila ditangan penjahat bisa dipakai oleh perampok untuk merampok harta kita atau bahkan membunuh kita.
Informasi mengenai ekonomi dan kekuatan mata uang suatu negara juga demikian. Ada orang-orang yang memang profesinya menekuni kekuatan ekonomi dan mata uang suatu negara, kemudian pada saat yang tepat menyerangnya untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.
Berikut adalah salah satu contoh bagaimana spekulan mata uang menyerang Rupiah tahun 1997-1998 dan betapa besar keuntungan yang mereka ambil.
Seperti diuraikan di artikel-artikel lain di blog ini, bahwa para spekulan mata uang belum tentu menjadi penyebab utama terjadinya krisis mata uang di Indonesia, Malaysia dan beberapa negara lain di kawasan ini sepuluh tahun lalu. Tetapi sangat besar kemungkinananya mereka mengambil manfaat dari tanda-tanda krisis kemudian memperparahnya dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.
Awalnya mereka melihat peluang, bahwa fundamental ekonomi kita memang lemah, mata uang kita masih berada pada tingkat US$ 1= Rp 2,400 awal 1997 dan S$ 1 = Rp 1,320. Posisi ini kurang lebih dapat digambarkan di illutrasi berikut :
Posisi nilai tukar Rupiah sebelum krisis 1997/1998
Mereka melihat bahwa Rupiah yang lemah dan pendukung fundamental ekonominya juga lemah, akan mudah sekali jatuh. Oleh karenanya mereka menjual dengan transaksi short (barangnya sendiri mereka belum punya atau mereka meminjamnya dari pihak lain, dan ini terlarang dalam Islam ) sejumlah besar Rupiah (untuk spekulasi harus besar karena kalau tidak – dampaknya tidak akan berarti) misalnya Rp 2.4 trilyun ( pada tingkat nilai tukar US$ 1=Rp 2,400) setara US$ 1 Milyar. Dari transaksi ini spekulan tersebut mendapatkan US$ 1 Milyar yang akan mereka bayar kembali dengan Rp 2.4 trilyun pada saat transaksi ditutup kemudian hari. Anggap spekulasi mereka benar terbukti (memang terbukti akhirnya !) dan Rupiah benar-benar jatuh, misalnya pada saat Rupiah turun menjadi US$ 1 = RP 10,000,- spekulan tersebut menutup transaksinya. Sekarang untuk membeli Rp 2.4 Trilyun (pada saat US$ 1 = RP 10,000,- ) ia hanya perlu US$ 240 juta. Dari sini spekulan tersebut mendapatkan keuntungan sebesar US$ 760 juta ! yaitu US$ 1 Milyar minus US$ 240 juta. Keuntungan ini disebut sebagai keuntungan spekulatif, namun keuntungan spekulan bukan hanya sampai disini. Ada keuntungan lain yang terbawa dan tinggal dipunguti oleh si spekulan, yang disebut keuntungan Arbitrage . Keuntungan arbitrage ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Setelah Rupiah anjlok, maka terjadi ketidak seimbangan atau dis-equilibrium mata uang dari yang kita contohkan diatas yaitu US$, Rupiah dan S$. Berbeda dari keuntungan spekulatif yang masih berisiko dan perlu menunggu waktu untuk menikmati hasilnya, keuntungan arbitrage bisa langsung saat transaksi itu juga, ibarat tinggal memunguti uang yang ada di jalan. Mekanisme keuntungan arbitrage ini kurang lebih sebagai berikut :
1. Pinjam uang US$ 1 Milyar dan tukar dengan Rupiah menjadi Rp 10 trilyun (pada nilai tukar yang baru US$ 1 = RP 10,000,- ).
2. Tukar Rp 10 trilyun ke Dollar Singapura (S$ 1 = RP 5,000,-) atau menjadi S$ 2 Milyar.
3. Tukar S$ 2 Milyar ke US$ (S$ 1 = US$ 0.60) menjadi US$ 1.2 Milyar
4. Kembalikan hutang yang US$ 1 Milyar di point 1 dan nikmati keuntungan arbitrage US$ 200 juta.
Dari aksinya tersebut si spekulan mendapatkan total keuntungan US$ 960 juta yaitu US$ 760 juta dari keuntungan spekulatif dan US$ 200 juta dari keuntungan arbitrage. Keuntungan arbitrage ini masih terus dan terus diambil di pasar uang sampai benar-benar terjadi kestabilan baru.
Dengan risiko yang begitu nyata terhadap uang kertas kita, maka sudah seharusnya kita memikirkan untuk membebaskan mata uang kita dari ulah para spekulan yang dengan mudahnya menghancurkan mata uang kita. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila mata uang kita emas dan perak atau Dinar dan Dirham – karena nilai keduanya tidak bisa dihancurkan oleh spekulan.
Penghancuran nilai mata uang kita pernah terjadi dengan tingkat yang amat serius sepuluh tahun lalu, apakah ada jaminan bahwa hal sejenis tidak akan terulang lagi ? Kalau Anda tidak yakin akan jawaban pertanyaan ini, maka sudah saatnya Anda berpikir untuk beralih ke Dinar atau aset lain yang memiliki nilai riil, bukan aset dalam uang kertas manapun.
Posisi nilai tukar Rupiah setelah krisis 1997/1998
Selasa, 18 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar