Tiga hal yang amat penting untuk dilindungi bagi umat Islam adalah Jiwa, Harta dan Kehormatan mereka. Begitu pentingnya masalah ini sehingga tiga hal ini menjadi pesan-pesan terakhir yang ditekankan oleh Rasulullah, SAW pada saat haji wada’ atau haji perpisahan. Hal ini dapat kita pelajari dari sebuah hadits panjang yang kurang lebih terjemahan bebasnya sebagai berikut :
Diriwatakan oleh Abu Bakrah R.A.’ Rasulullah SAW bersabda : “ Telah sempurna putaran waktu dan telah sempurna Allah menciptakan langit dan bumi. Tahunnya terdiri dari 12 bulan, empat diantaranya bulan haram; tiga diantaranya berturut-turut yaitu Dhul-Qa’dah, Dhul-Hijjah dan Muharam, yang satu lagi Rajab, yaitu bulan Mudar(suku), yang datang diantara Jumadah dan Sha’ban. (Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepada kami yang hadir), “Bulan apa ini “? Kami berkata “ Allah dan RasululNya lebih tahu”. Rasulullah, SAW tetap diam beberapa saat sampai kami mengira beliau akan memberi nama yang lain. Kemudian Beliau bertanya : “Bukankah ini bulan Dhul-Hijjah ?”. Kami menjawab dengan membenarkannya. Beliau bertanya lagi :” Di kota apa ini ?”, Kami menjawab :” Allah dan rasulNya lebih tahu”. Beliau diam beberapa saat sampai kami mengira Beliau akan memberi nama lain. Beliau bertanya “ Bukankah ini Al Baddah (Makkah)?”; Kami jawab “Ya”. Kemudian beliau bertanya lagi :”Hari apa ini ?”, Kami menjawab : “Allah dan RasulNya lebih tahu”. Beliau diam beberapa saat sampai kami mengira akan memberikan nama lain. Beliau bertanya “ Bukankah ini hari An-Nahr (hari Qurban) ?”. Kami menjawab dengan membenarkannya. Setelah itu beliau bersabda “Maka sesungguhnya darah kamu sekalian, harta kamu sekalian dan kehormatan kamu sekalian haram bagi kamu sekalian satu sama lain (haram untuk ditumpahkan, diambil dan dinodai), seperti haramnya hari ini bagi kalian, kota ini bagi kalian dan bulan ini bagi kalian. Kamu sekalian akan segera menemui Tuhan kalian dan Dia akan bertanya tentang perbuatan kalian. Jadi jangan kembali kepada kekafiran setelahKu dengan saling menyerang leher satu sama lain. Ingat ! agar yang hadir disini menyampaikan(pesan ini) kepada yang tidak hadir; Sebagian orang yang menerima pesan ini lebih memahami dari yang mendengar ini”. Beliau kemudian bersabda lagi ; “Ingat ! Bukankah Aku telah sampaikan perintah Allah ini kepada kamu sekalian ?: Ingat ! Bukankah Aku telah sampaikan perintah Allah ini kepada kamu sekalian ?”. Kami menjawab : “Ya”. Beliau kemudian bersabda : “ Allah sebagai saksi atas hal ini” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dari tiga hal yang diharamkan bagi muslim satu dengan muslim lainnya tersebut, tulisan ini hanya akan berfokus pada haramnya harta seorang muslim bagi muslim lainnya. Apabila di jaman dahulu harta seorang muslim hanya dapat di rampas dengan cara pencurian, perampokan, penjarahan dan sejenisnya yang bersifat fisik. Maka dizaman modern sekarang ini harta umat Islam secara keseluruhan dalam suatu negeri seperti Indonesia dapat dijarah, dirampok atau dihancurkan nilainya dalam sekejap. Bahkan yang melakukan penjarahan atau penghancuran nilai tersebut tidak perlu (paling tidak tidak nampak) dilakukan oleh suatu Negara lain. Penjarahan dan penghancuran nilai tersebut dapat dilakukan oleh segelintir orang yang berspekulasi dengan ekonomi dan mata uang negeri ini. Penjarahan yang lebih sistematis juga dilakukan oleh negara lain terhadap kekayaan negeri ini melalui keuntungan seigniorage yang diperoleh oleh negara lain yang mata uangnya kita gunakan dan kita tukar dengan kekayaan alam kita, detilnya kita bahas di Bab VI. 1.
Kita masih ingat betapa di tahun 1997-1998 semua kekayaan umat ini yang tersimpan dalam nilai Rupiah atau yang diukur dengan nilai Rupiah, nilainya terus turun tinggal 14% atau Rupiah mengalami penurunan 86% terhadap Dollar Amerika hanya dalam waktu beberapa bulan, karena nilai Rupiah terhadap Dollar Amerika turun dari Rp 2400/US$ 1 menjadi terburuk pada Rp 17000/US$ 1. Sebenarnya bukan hanya terhadap Dollar Amerika nilai uang Rupiah kita turun drastis tersebut, terhadap daya beli komoditi standar seperti emas – nilai Rupiah juga turun drastis saat itu. Apabila sebelum krisis harga emas murni sekitar Rp 26,000/gr. Selama krisis harga emas murni mencapai Rp 161,000/gr. Atau Rupiah mengalami penurunan nilai 84% terhadap emas.
Apabila Anda saat itu punya tabungan Rp 1 milyar sebelum krisis, selama krisis uang Anda tetap Rp 1 milyar maka dalam nilai Dollar Amerika sebenarnya Anda telah menjadi lebih miskin 86 % karena uang Rp 1 milyar Anda tadinya setara kurang lebih US$ 417,000 dalam beberapa bulan uang Anda tinggal US$ 59,000 !. Dalam ukuran emas, uang Rp 1 milyar Anda sebelum krisis setara dengan emas kurang lebih 38.5 kg; selama krisis uang Anda tinggal setara dengan emas 6.2 kg saja !.
Apa reaksi kita saat itu dan jutaan lain rakyat negeri ini yang mengalami penghancuran total terhadap kekayaannya ? semuanya sabar (atau pasrah ?) dan menerima realita yang ada sebagai krisis moneter. Maka krisis moneter menjadi pemakluman umum dan tidak ada yang protes.
Ternyata krisis moneter dengan penurunan nilai mata uang tersebut bukan monopoli negara dengan kekuatan ekonomi lemah seperti negeri yang kita cintai ini. Negara perkasa seperti Amerika Serikat ternyata juga mengalami krisis mata uang yang sama – hanya periodenya lebih panjang –dibanding yang kita alami tahun 1997-1998. Selama enam tahun terakhir (2001-2006) nilai tukar US$ terhadap emas turun tinggal 44% atau mengalami penurunan 56%. Tahun 2001 harga emas dunia adalah US$ 8.93/gr. dan akhir tahun 2006 harga emas mencapai US$ 20.35/gr.
Dari dua kejadian di dua negara dengan kekuatan ekonomi yang sangat berbeda tersebut, kita dapat ambil kesimpulan bahwa uang kertas atau Fiat Money sangat tidak bisa diandalkan untuk mempertahankan dan melindungi kekayaan pemiliknya. Dari sini terbukti bahwa uang fiat gagal menjalankan fungsinya yaitu sebagai store of value atau penyimpan nilai, seperti fungsi uang yang selalu ditulis di textbook-textbook ekonomi modern .
Kesadaran tidak dapat diandalkan dan dipercayanya uang kertas tersebut telah mulai tumbuh di beberapa negara. Bahkan di Amerika Serikat sendiri telah tumbuh gerakan penyadaran masyarakat akan kebohongan dan kepalsuan ekonomi yang ditimbulkan oleh mata uang kertas. The Foundation for the Advancement of Monetary Education (FAME) adalah salah satunya yang aktif memberikan penyadaran kepada masyarakat tentang apa yang mereka sebut ‘The Danger From our Fraudulent Fiat Money’ dan ‘Honest Monetary Weights and Measures—which is almost always Gold-as-money—is the Solution’.
Ada setidaknya dua fenomena dari kasus tersebut diatas. Yang pertama adalah ketika sebagian warga negara Amerika Serikat mulai tidak percaya uang mereka sendiri (US$), masyarakat dunia lainnya – termasuk Indonesia masih menggunakan US$ sebagai rujukannya. Seluruh kinerja ekonomi kita seperti cadangan devisa, pendapatan per kapita, GNP dst. masih diukur dengan US$ - padahal US$ nilainya tinggal 44 % saja dari nilai 6 tahun lalu.
Fenomena kedua adalah ketika mereka tidak percaya mata uang kertasnya, mereka selalu kembali ke emas dan perak sebagai solusi. Disinilah beruntungnya umat Islam dibandingkan dengan umat-umat lainnya. Sebagian warga negara Amerika Serikat yang tidak percaya US$ lagi sekarang, mereka hanya tahu emas dan perak sebagai solusi – tetapi tidak tahu bagaimana mengukur satuannya, bagaimana menyebutnya, standar apa yang akan digunakan dst. Meskipun mereka orang-orang yang cerdas, namun karena tidak mendapatkan petunjuk maka tetaplah mereka sebagai al-dholliin – orang yang tersesat.
Sebaliknya kita umat Islam, kita memiliki contoh (Uswatun Hasanah) yang sempurna dalam menyikapi berbagai persoalan hidup. Ketika kita sadar bahwa mata uang US$, Rupiah dan mata uang kertas lainnya – tidak bisa diandalkan – maka kita diberi tahu tahu solusinya sesuai contoh yang sempurna tersebut – yaitu kembali ke Dinar dan Dirham. Standarnya-pun sudah sangat jelas yang diberlakukan sejak zaman Rasulullah SAW yaitu satu dinar adalah emas 1 mitsqal atau seberat 4.25 gr. Sedangkan Dirham adalah perak murni yang beratnya ditentukan berdasarkan persamaan berat yang dibakukan oleh Umar bin Khattab yaitu berat 7 Dinar sama dengan berat 10 Dirham, artinya satu Dirham sama dengan 2.975 gr perak murni.
Krisis tahun 1997-1998 sudah terjadi dan tidak perlu kita sesali, saat itu jutaan umat Islam negeri ini kekayaannya turun tinggal 1/6 dari kekayaan semula pun- tidak ada yang protes. Tetapi dari hadits panjang tersebut diatas sebenarnya tersirat tanggung jawab yang sangat besar bagi pemimpin-pemimpin negeri ini. Kalau harta muslim adalah haram bagi muslim lain untuk mengambilnya (menguranginya), maka bagaimanakah pertanggungan jawab pemimpin negeri ini di akhirat nanti- yang telah membuat harta jutaan muslim di Indonesia nilainya hancur ?. Dapatkah mereka mempertangung jawabkannya ?. dapatkah mereka menggunakan permakluman bahwa krisis moneterlah yang bisa disalahkan ?.
Islam tidak membenarkan kita ber-andai-andai, maka saat inilah sebenarnya kesempatan pemimpin-pemimpin di negeri ini baik di Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif untuk membuat kebijakan yang kondusif yang mendorong terlindunginya harta-harta umat dengan baik. Hal ini setidaknya dapat mereka lakukan dengan mendorong penggunaan Dinar dan Dirham atau minimal menghapuskan peraturan yang menjadi hambatan dalam penggunaan Dinar sebagai alat investasi , alat muamalah maupun ibadah (zakat, diyat dlsb) bagi umat Islam di negeri ini.
Setelah kita tahu bahwa selama ini ternyata uang kertas yang kita gunakan sangat tidak bisa diandalkan nilainya karena terus-menerus mengalami penurunan nilai, maka pertanyaan berikutnya adalah siapakah yang seharusnya menjaga nilai kekayaan kita dan kekayaan umat Islam seluruhnya ? tentu tugas tersebut adalah menjadi tugas kita semua umat Islam. Rasulullah SAW melalui dua hadits berikut memberikan semangat agar kita mau dan mampu mempertahankan harta kita bahkan sampai mati sekalipun.
Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata : “wahai Rasulullah, bagimana pendapat engkau jika datang seseorang bermaksud mengambil harta saya ?” Rasulullah SAW menjawab : “jangan kamu berikan”, ia berkata :“ Bagaimana jika ia berusaha membunuhku ?” Rasulullah SAW menjawab :”Kamu mati syahid”. Ia berkata : “bagaimana jika aku membunuhnya ?” Rasulullah SAW menjawab : “ Ia akan masuk ke dalam neraka” (HR. Imam Muslim)
Dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata :” Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda :” Barang siapa terbunuh karena membela hartanya, maka ia mati syahid” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pertanyaan berikutnya adalah terhadap risiko apa harta tersebut harus kita pertahankan ?, tentu terhadap risiko pengambilan harta (bisa juga berarti penurunan nilai harta) secara tidak hak yang dilakukan orang lain terhadap harta kita.
Sebagian besar kita mungkin menganggap bahwa pengambilan harta secara tidak hak oleh orang lain tersebut hanyalah melalui perampokan, pencurian, penjarahan (seperti kejadian Mei 1998) dan sejenisnya. Ini semua betul, tetapi di zaman modern sekarang ini sebenarnya risiko terbesar atas pengambilan harta secara tidak hak bukanlah pada risiko-risiko yang dicontohkan tersebut diatas. Di zaman uang diperdagangkan sebagai komoditi seperti zaman sekarang ini, pencurian, perampokan dan penjarahan yang risikonya jauh lebih tinggi justru dilakukan orang secara terang-terangan dan tidak melanggar ‘hukum tertulis’. Karena tidak melanggar ‘hukum tertulis’ maka pemerintahpun tidak melindungi rakyatnya dari risiko semacam ini. Pencurian, perampokan dan penjarahan yang risikonya terbesar saat ini adalah dilakukan melalui penghancuran nilai tukar harta kita terhadap barang-barang yang kita butuhkan.
Selama ini risiko yang sifatnya fisik seperti pencurian, perampokan dan penjarahan lebih banyak mendapatkan perhatian dari masyarakat. Upaya pencegahannyapun dilakukan di berbagai tingkatan mulai dari anggota masyarakat secara individu, lingkungan masyarakat sampai pemerintah memfasilitasi pengamanan risiko fisik dari warganya. Dalam manajemen risiko, risiko-risiko fisik ini memiliki frequency (peluang) kejadian yang rendah dan severity (nilai kerugian) yang juga rendah secara aggregate nasional meskipun bisa saja severity tinggi untuk risiko individual.
Di lain pihak ada risiko lain yang lebih mengancam secara individu maupun nasional, risiko ini mempunyai freqency sangat tinggi bahkan boleh dibilang berada pada tingkatan pasti terjadi, severity-nyapun sangat tinggi baik secara aggregate nasional maupun secara individu. Risiko ini adalah risiko kehilangan atau penurunan nilai kekayaan individu maupun bangsa ini secara keseluruhan yang diakibatkan oleh penurunan nilai alat ukur atas kekayaan tersebut yaitu uang Rupiah kita.
Pada puncak krisis Indonesia yang ditandai dengan kerusuhan Mei 1998, Industri asuransi Indonesia membayar kerugian rumah dan toko-toko yang terbakar dan dijarah orang di beberapa kota Indonesia konon mencapai nilai keseluruhan sekitar US$ 200 juta. Pada saat itu sesungguhnya kerugian terbesar di derita rakyat Indonesia yang mayoritas muslim dan mayoritas uangnya (atau hartanya) dinilai dalam rupiah. Dalam puncak krisis itu harta kita tinggal 1/6 dari nilai semula – gara gara nilai uang kertas kita terhadap uang kertas lain turun dari US$ 1 = Rp 2400 menjadi US$ 1 = Rp 14,400. Tanpa kita sadari penurunan nilai ini diikuti oleh pengambil alihan beberapa asset negeri ini oleh orang asing (atau juga orang Indonesia yang berbaju asing dan bermata uang asing) yang tentu dengan sangat murah semata-mata karena uang yang mereka pegang tidaklah sama dengan uang kita. Inilah pengambilan harta yang tidak hak itu, dan inilah risiko terbesar yang pasti terjadi selama kita menggunakan uang fiat dan perlu kita melindungi diri darinya.
Kehancuran atau penghancuran nilai kekayaan bangsa ini yang terjadi antara tahun 1997-1998 dapat pula dijelaskan secara visual sebagaimana grafik dibawah ini :
Data : Diolah dari berbagai sumber antara lain Gold Price Organization
Grafik II. 3 : Fluktuasi harga Emas Dalam US Dollar dan Dalam Rupiah
Dari grafik tersebut diatas, kita dapat melihat bahwa ketika secara internasional harga emas harusnya turun (Dalam US$), di Indonesia malah naik secara significant khususnya antara tahun 1997-1998. Secara statistik hal ini bisa dijelaskan dengan koefisien korelasi antara harga emas dalam rupiah dengan harga emas dunia dalam US Dollar. Apabila semuanya berjalan adil seharusnya korelasi ini selalu positif dan mendekati angka + 1 (dari skala -1 sampai +1). Artinya sudah seharusnya apabila harga emas dunia naik dalam US Dollar, maka harga emas dalam rupiah juga naik – demikian pula sebaliknya apabila harga tersebut turun.
Untuk Indonesia bisa kita lihat bahwa angka korelasi tersebut selama tiga puluh tahun dari 1966 -1996 bernilai + 0.77 ; kemudian setelah ekonomi relatif normal sejak 1999-2006 bernilai + 0.99. Artinya kalau tidak ada pihak yang menghancurkan kekayaan kita, maka kita dapat mengikuti perkembangan harga emas dunia.
Sebaliknya pada dasawarsa 10 tahun dari 1991-2000, angka koefisien korelasi tersebut menjadi negatif (-) 0.65. Angka minus ini terjadi karena gejolak yang kita sebut krisis moneter antara tahun 1997-1998. Karena pengaruh angka korelasi yang minus pada dasawarsa 1991-2000 ini maka koefisien korelasi antara harga emas dalam rupiah dengan harga emas dunia dalam US$ selama empat puluh tahun terakhir 1966-2006, memiliki angka yang rendah yaitu hanya positif (+) 0.46.
Dari angka-angka koefisien korelasi tersebut dapat kita tarik kesimpulan sederhana bahwa memang ada ‘keanehan’ terhadap daya beli mata uang Rupiah kita yang secara menyolok terjadi pada tahun 1997-1998. Kalau ekonomi global berjalan secara adil terhadap Indonesia dan tidak ada yang sengaja menghancurkannya, maka sudah seharusnya koefisien korelasi tersebut ber-angka positif dan mendekati angka + 1 sepanjang masa. Tetapi juga janganlah kita buru-buru hanya menyalahkan pihak eksternal, apakah itu spekulator mata uang, Economic Hit Man ataupun permainan pihak tertentu, kita hanya bisa diserang karena kita memang lemah. Sistem uang fiat, fractional reserve banking dan bunga bank yang ribawi yang kita pakai memang pada dasarnya lemah – para spekulan mata uang ataupun pihak lain tinggal memanfaatkan kelemahan tersebut untuk menyerang mata uang tersebut pada waktu yang tepat. Lebih jauh mengenai bagaimana para spekulan mata uang melakukan aksinya, dapat dilihat di Appendix.
Kalau risiko fisik ada yang menjaganya, lantas siapa di negeri ini yang seharusnya menjaga kekayaan rakyat dan bangsa ini dari penghancuran nilai tersebut ?. Idealnya otoritas moneter bangsa ini harus mampu menjaga nilai Rupiah sehingga terjaga kekayaan rakyat dan bangsa ini yang diukur dengan nilai rupiah. Namun jangankan Indonesia yang tergolong lemah dalam moneter, Negara seperkasa Amerika Serikat-pun gagal menjaga nilai US Dollar-nya (terhadap nilai emas, nilai US$ turun tinggal 5.5 % selama 40 tahun, dan turun tinggal sekitar 44% selama 6 tahun terakhir).
Nah kalau negara kita dan juga negara-negara lain yang mengaku perkasa tidak bisa melindungi harta rakyatnya dari penurunan nilai (di Amerika Serikat sampai timbul gerakan penyadaran masyarakat akan ketidak mampuan negaranya menjaga nilai ini yang dilakukan oleh FAME – Foundation of Advance Monetary Education ), bagaimana kita secara individu atau bersama masyarakat bisa melindungi harta kita dari penurunan nilai ?.
Jawabannya adalah pada kemauan atau niat. Negara bukan tidak mampu menjaga nilai kekayaan atau harta rakyatnya dari risiko penurunan nilai, tetap dengan alasan tertentu negara memang tidak mau atau tidak mempunyai niat untuk melakukannya.
Solusi untuk menjaga nilai harta kita dari penghancuran nilai sebenarnya ada di mata uang dan sistem moneter, sejauh kita masih menggunakan mata uang yang tidak memiliki nilai intrinsik, mata uang yang terus tergerus nilai daya belinya, maka penjagaan nilai harta kita dengan mata uang tersebut tidak dapat dilakukan. Kekayaan kita yang dinilai dalam uang rupiah juga akan terus terancam selama negeri ini menggunakan fractional reserve banking, dimana segelintir warga negeri ini yang mengendalikan perbankan dapat menciptakan uang bank, dan uang bank ini dipakai untuk menguasai sumber-sumber ekonomi negeri ini. Atau melalui cara lain, uang bank yang terus menggelembung melalui proses money creation akan otomatis menurunkan daya beli uang rupiah itu sendiri, bagi sebagian terbesar dari masyarakat yang jumlah uangnya atau penghasilannya tetap penurunan daya beli uang juga berarti pemiskinan yang sistematis.
Sebaliknya apabila kita gunakan mata uang yang adil, yang memiliki daya beli stabil sepanjang zaman yaitu Dinar dan Dirham (Lihat di sub bab sebelumnya dalam Bab ’Hakim’ yang Adil...), maka secara otomatis harta kita tersebut akan terlindungi dari risiko penghancuran nilai. Apabila proses money creation dan riba ditinggalkan, maka kekayaan akan menyebar secara adil karena penghasilan harus dihasilkan oleh suatu proses kerja atau kegiatan produksi, uang tidak menghasilkan uang tetapi kerja atau produksilah yang menghasilkan uang.
Kalau menjaga harta dari risiko fisik saja yang bisa terjadi bisa juga tidak (frequency kejadian rendah) dan kalau toh terjadi risikonya tidak besar secara nasional (severity rendah) – kita dijanjikan pahala syahid oleh hadits tersebut diatas, tentu menjaga harta kita dan harta umat dari penghancuran nilai (freqency tinggi dan severity tinggi) – insyaallah akan mendapatkan pahala yang minimal sama dari Allah SWT yang ditanganNya kita menyerahkan hidup mati kita.
Dengan besarnya pahala yang dijanjikan oleh Allah untuk perjuangan menegakkan keadilan terhadap harta kita dan harta umat melalui kampanye penggunaan Dinar dan Dirham, juga jangan sampai kita menjadi hamba Dinar dan Dirham yang disebutkan dalam hadits “ Celakalah hamba Dinar dan hamba Dirham” (HR. Bukhari).
Maksud hadits tersebut tentu bukan untuk orang-orang yang memperjuangkan penggunaan Dinar dan Dirham di negeri ini sebagai alat untuk bermuamalah karena penggunaan uang kertas yang ada terutama untuk transaksi jangka panjang jelas tidak bisa memberikan keadilan. Yang dimaksudkan hamba Dinar dan hamba Dirham dalam hadits tersebut adalah orang-orang yang mempertuhankan hartanya. baik harta tersebut berupa uang Rupiah, US Dollar ataupun harta lainnya – semoga kita bukanlah termasuk yang demikian ini.
Rabu, 12 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar