Blog Ini Hanya Cadangan Dari Blog Kami Yang Sesungguhnya WWW.GERAIDINAR.COM

Minggu, 16 Desember 2007

Harta Kita, Aset atau Liability ? (Di Akhirat )

Ini nasihat untuk diri saya sendiri yang mungkin juga berguna bagi anda yang membaca blog ini.

Ketika Rasulullah SAW mendapatkan pertannyaan dari sahabatnya tentang apa yang harus di nafkahkan, Allah menurunkan wahyu kepada RasulNya untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban Al-Afwa – seluruhnya (yang lebih dari keperluan) – QS 2:219. Kemudian di ayat-ayat lain Allah mengancam orang-orang yang tidak menafkahkan hartanya di Jalan Allah (lihat QS 104:1-3 ; QS 9:24 ; QS 9:34-35).

Dengan perintah menafkahkan harta di jalan Allah beserta ancamannya apabila tidak melakukan yang demikian, tidak berarti juga kita boleh mentelantarkan diri, keluarga dan ahli waris kita. Ada empat penggunaan harta yang dibatasi seperlunya, yaitu :

1) Untuk diri sendiri : lihat QS 57:27 dan QS 7:32 dan juga hadits Rasulullah SAW yang berbunyi “Sungguh jasadmu punya hak atas kamu, matamu punya hak atas kamu, istrimu punya hak atas kamu, dan tamumu-pun punya hak atas kamu “ HR. Bukhari.
2) Untuk keluarga sebagaimana dalam hadits :’ Mulai sedekahmu pada orang yang menjadi tanggunganmu” HR. Bukhari.
3) Untuk mengantisipasi kebutuhan dharurat sebagaimana hadits : “Pegang sebagian hartamu, hal ini dianjurkan untukmu (sebagai cadangan untuk kebutuhan masa depan)”. HR. Bukhari – Kitab Zakat
4) Untuk Ahli Aris sebagaimana ayat “ Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka kawatir terhadap (kesejahteraan) mereka”. dan juga hadits Rasulullah yang berbunyi :”meninggalkan tanggungan (keluargamu) dalam kemakmuran adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kondisi miskin dan bergantung pada belas kasihan orang lain. Setiap pengeluaranmu untuk keluargamu adalah sedeqah meskipun hanya sesuap makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu”. (HR. Bukhari – Kitab Wasiyat)



Empat hal tersebut boleh dan bahkan dianjurkan, namun kriteria batasannya adalah seperlunya. Penggunaan harta yang tidak dibatasi dengan kriteria ‘seperlunya’ adalah hanya untuk kebutuhan Fi Sabilillah seperti dalam QS 2:219 tersebut diatas.

Lantas bagaimana kita mengetahui kebutuhan yang seperlunya tersebut ?; Setiap diri kita dilengkapi ilham oleh Allah swt. sebagaimana ayat “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS 91:8). Ilham ini juga berlaku untuk mengetahui tingkat ‘keperluan’ harta kita untuk 4 hal tersebut diatas. Mata hati kita tahu sebenarnya berapa yang kita butuhkan untuk diri sendiri, keluarga, dan ahli waris.

Hanya saja untuk mengantisipasi kebutuhan keluarga kita, kebutuhan anak kita untuk sekolah 18 tahun yang akan datang menjadi sulit kalau kita menggunakan alat ukur yang tidak adil – yang tidak memiliki nilai daya beli tetap dalam rentang waktu yang menengah panjang. Untuk rencana pendidikan anak kita sampai selesai S1 yang sekarang baru lahir kita butuhkan berapa ? tentu tidak mudah apabila kita gunakan nilai Rupiah ataupun Dollar dalam perhitungannya – karena daya beli nilai uang kertas tersebut terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu.

Disinilah perlunya umat Islam menggunakan uangnya sendiri yang adil sepanjang zaman, yang memiliki daya beli tetap sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang yaitu Dinar dan Dirham.

Dengan menggunakan mata uang atau timbangan yang adil, kita dapat mengalokasikan harta kita secara adil pula untuk 4 hal yang dibatasi ‘keperluan’ tersebut diatas dan sisanya kita harus infaqkan di jalan Allah ; atau terus diputar dalam usaha namun hasilnya memang diniatkan untuk infaq di jalan Allah.

Dengan timbangan yang adil berupa Dinar dan Dirham tersebut kita berharap semoga Asset kita di dunia tetap menjadi asset di Akhirat karena kita infaqkan sesuai haknya, kita juga berlindung dari asset dunia yang menjadi liability di Akhirat. Wallahu A’lam bi Showab.

Tidak ada komentar: