Blog Ini Hanya Cadangan Dari Blog Kami Yang Sesungguhnya WWW.GERAIDINAR.COM

Rabu, 12 Desember 2007

Pendapat Para Ulama Fiqih Klasik Tentang Uang

Dalam teks-teks fiqih klasik, uang selalu berarti koin emas (Dinar) dan perak (Dirham) – karena dua jenis uang inilah yang ada pada masa itu. Emas dan perak ini baik berupa uang ataupun bahan batangan atau bentuk lain sangat jelas diatur dalam kitab-kitab fiqih tersebut. Salah satu contoh pengaturan yang sangat tegas tersebut adalah Hadits dari Abu Said, Rasulullah SAW bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam dengan garam, sama banyak dan sama-sama diserahkan dari tangan ke tangan. Barang siapa yang menambahkan atau meminta tambahan sungguh ia telah berbuat Riba, penerima dan pemberi sama”. (HR Bukhari dan Ahmad).

Hadits tersebut melarang dua bentuk Riba yaitu Riba Al-Fadl dan Riba Al-Nasi’a. Riba Al- Fadl melarang jual beli antar barang yang sama dengan jumlah yang berbeda. Sedangkan Riba Al-Nasi’a adalah jual beli barang-barang yang disebut diatas atau yang sejenis dengan pembayaran yang tertunda. Sebagaian besar ulama sepakat bahwa barang-barang yang disebut diatas merujuk suatu jenis barang – jadi tidak terbatas hanya pada yang disebut dalam hadits. Perbedaan pendapat baru timbul pada bagaimana masing-masing jenis didefinisikan. Pengelompokan jenis yang terkait dengan uang atau emas dan perak juga menjadi bahan perbedaan pendapat berikutnya. Semua mazhab menggunakan permisalan (qiyas) untuk mengelompokkan jenis barang yang sama atau berbeda tersebut.

Imam Hanafi menginterprestasikan 6 komoditi yang dikenakan hukum Riba berdasarkan dua karakteristik yaitu barang-barang yang ditimbang (berdasarkan berat) dan bahan-bahan yang ditakar berdasarkan volume (makilat). Emas dan perak masuk kategori barang yang ditimbang (mawzunat), maka uang dihukumi berdasarkan jenis barang yang ditimbang. Berdasarkan pemahaman ini maka berlaku pula larangan riba Al Nasi’ah untuk barang-barang lain yang biasa ditimbang.

Imam Hambali (781M- 858M) memiliki pandangan yang mirip dengan Imam Hanafi, namun menurut Imam Hambali uang harus diperlakukan secara khusus. Pendapat yang senada juga datang dari Ibn Qayyim yang merupakan murid Ibn Taimiyah tentang kedudukan uang yang khusus tersebut tidak boleh diperluas untuk mencakup juga barang-barang lain diluar uang.

Imam Shafi’i dan Imam Malik meninterpretasikan Hadits Riba tersebut secara berbeda. Dalam pandangan mereka, dua jenis pertama mewakili penentu harga (athman) sedangkan empat jenis barang yang lain terkait dengan makanan. Dengan paham ini segala bentuk jual beli yang dibayar dengan uang secara hukum dibenarkan. Menurut Imam Shafi’i ini uang tidak bisa dikategorikan kedalam makilat maupun mauzunat, melainkan terpisah sama sekali dari jenis barang lainnya berdasarkan kesepahaman antar pengguna uang tersebut. Lebih jauh karena semua barang bisa menjadi alat tukar atau memiliki sifat sebagai alat tukar (thamaniya), pendapat Imam Shafi’i tersebut memberikan banyak kebebasan – dan lebih pragmatis. Pendapat ini juga memiliki alasan praktis bahwa jual beli bahan makanan dengan uang pasti dibolehkan karena juga didukung oleh Hadits Rasulullah SAW, “Cara yang berguna bagi seseorang untuk memperoleh penghidupan”.

Konsep Imam Shafi’i mengenai thamaniya membuka konsep baru tentang uang, uang tidak lagi menjadi komoditi- berbeda dengan emas dan perak dalam bentuk aslinya. Orang memegang uang karena uang mudah dipakai untuk membeli kebutuhan apa saja yang dibutuhkan manusia. Nilai uang adalah berdasarkan kesepakatan dan tidak lagi terbatas pada nilai intrinsik yang terkandung dalam logam yang dipakai untuk membuat uang tersebut. Meskipun demikian Imam Shafi’i sendiri lebih condong untuk menimbang uang berdasarkan berat dibandingkan dengan menghitungnya, hal ini didorong oleh kebiasaan masyarakat pada zamannya yang begitu kuat memegang tradisi untuk menimbang uang. Karena kebiasaan ini, maka yang dikategorikan Riba pada masa tersebut adalah apabila jumlah berat yang berbeda dan bukannya dengan jumlah hitungan yang berbeda.

Imam Malik memiliki pandangan yang lebih jauh lagi tentang uang, ia misalnya tidak menganggap riba apabila terdapat perbedaan berat dalam uang. Apabila ada kelebihan berat dalam pertukaran uang sejenis, Imam Malik menganggapnya sebagai kedermawanan (tafaddul) dan perbedaan berat ini tidak perlu dikompensasikan dengan perbedaan jumlah. Malik juga mengijinkan sebaliknya, yaitu pertukaran uang sejenis dapat juga dilakukan melalui cara menghitung jumlah – dan ini juga tidak perlu dikompensasikan dengan penimbangan dengan berat. Secara historik, pemahaman antara menimbang dengan menghitung uang merupakan langkah yang penting dalam merumuskan konsep tentang uang.

Pada saat uang sudah dicetak dalam bentuk Dinar dan Dirham (bukan lagi dalam bentuk bahan aslinya berupa emas dan perak bongkahan) Menurut Imam Malik Dinar dan Dirham masuk kategori barang yang harus dihitung, alasannya adalah berdasarkan Al-Qur’an Surat Yusuf 20, “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa Dirham saja, dan mereka tidak tertarik hatinya kepada Yusuf”.

Perbedaan pendapat lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah menyangkut nilai tukar antara Dinar dan Dirham. Di awal-awal perkembangan Islam uang Dinar dan Dirham digunakan secara bersama dalam suatu wilayah yang relatif sama, karenanya mau tidak mau terjadi interaksi tukar menukar antar keduanya. Dari sinilah para ahli fiqih berusaha merumuskan nilai tukar Dinar terhadap Dirham dan sebaliknya sejak awal-awal Islam berkembang tersebut. Nilai tukar ini perlu dipahami mengingat banyak hukum Islam yang dikaitkan langsung dengan Dinar dan Dirham sekaligus. Imam Hanafi misalnya menentukan nilai tukar berdasarkan hukum potong tangan dari Hadits Ibn Mas’ud RA. “ Jangan memoting tangan pencuri kecuali ia mencuri (lebih dari) satu Dinar atau 10 Dirham”. Artinya satu Dinar sama nilainya dengan sepuluh Dirham.

Sebaliknya Imam Malik (715 M- 796 M) menentukan bahwa pencuri yang dipotong tangannya apabila dia mencuri seperempat Dinar atau 3 Dirham, yang berarti satu Dinar sama dengan 12 Dirham.

Menarik untuk disimak adalah pendapat Imam Shafi’i yang menentukan nilai tukar berdasarkan beberapa hadits tentang potong tangan. Menurut beliau seperempat Dinar setara dengan tiga sampai delapan Dirham, ini berarti satu Dinar sama dengan 12 sampai 32 Dirham. Dari sini kita tahu bahwa Imam Shafi’ilah yang pertama kali memperkenalkan nilai tukar yang mengambang (floating rate) antar dua mata uang. Sejalan dengan ini Imam Shafi’i pula yang memperkenalkan dasar perhitungan zakat yang berbeda antara pemilik emas dan perak-artinya 20 Dinar sebagai nisab emas dan 200 Dirham nisab perak tidak harus memiliki nilai yang sama . Bagi pemilik emas dia terkena nisab emas dan bagi pemilik perak dia terkena nisab perak dan tidak perlu di equivalenkan antar keduanya. Pendapat ini juga sejalan dengan riwayat tentang Umar bin Khattab pada saat menentukan nilai uang darah pada saat unta menjadi mahal (lihat di sub bab VIII.3 tentang ‘Penggunaan Dirham Masa Depan Perak’ ).

Perbedaan pendapat antara mazhab-mazhab yang ada juga terkait dengan nilai intrinsik uang dan nilai yang tertera dalam uang logam yang dicetak . Fulus dan Maghshus keduanya memiliki nilai intrinsik yang lebih rendah dari nilai yang tercetak di koin tersebut. Secara historis fulus dan Magshus merupakan bentuk awal uang konvensional seperti yang kita kenal sekarang yang secara luas diterima oleh para ulama. Namun karena dua jenis koin tersebut memiliki nilai yang jauh dibawah nilai yang tertera di koin yang bersangkutan, maka nilai tukar keduanya sangat tidak stabil. Dampak ketidak pastian nilai tukar ini menimbulkan bahaya lain yang disebut Gharar. Dalam konteks fiqih klasik ketidak pastian atau Gharar ini hanya bisa di amankan melalui dua cara yaitu ; uang hanya dinilai berdasarkan nilai intrinsik-nya seperti uang emas dan perak; atau kalau hal ini tidak bisa dilakukan maka Fulus dan Maghshus hanya dipakai pada lingkungan yang terbatas dimana ada kontrol sosial dan saling kepercayaan yang kuat diantara pelaku pasar sehingga nilai keduanya aman.

Menurut Imam Hanafi (699 M – 767 M) karena Fulus dan Maghsus tidak ditimbang maupun ditakar maka tidak terkena hukum Riba. Imam Shafi’i (767 M-820 M) bahkan tidak menganggap Fulus sebagai uang karena tidak dapat diterima oleh semua orang.

Tidak ada komentar: