Perlu dipahami bahwa Imam-Imam besar yang melahirkan Mazhab Hanafi, Maliki, Shafi’i dan Hambali mereka hidup di abad pertama dan kedua Hijriyah bahkan yang paling dahulu lahir diantara mereka Imam Hanafi masih tergolong generasi tabi’in . Hal ini membuat penerapan mazhab-mazhab fiqih yang dihasilkan oleh para Imam besar tersebut dalam menghukumi uang kertas atau uang fiat memang perlu dipahami secara tersendiri. Meskipun demikian karena para Imam tersebut juga merujuk pada Al-Quran dan Al – Hadits yaitu dua hal yang dijanjikan kepada kita umat Islam untuk tidak tersesat selama kita berpegang pada keduanya hingga akhir zaman – maka pemikiran fiqih empat mazhab tersebut tentu juga tetap relevan untuk mengkaji hukum uang kertas atau uang fiat yang kita pakai sampai saat ini.
Di sisi lain apa yang oleh umat di zaman sekarang sebut sebagai ‘uang’ sesungguhnya adalah sesuatau yang sangat berbeda dengan konsep ‘uang’ yang dikenal oleh para Imam mazhab tersebut diatas. Dalam sejarah manusia dikenal ada tiga jenis uang. Pertama adalah uang komoditi yaitu khususnya uang yang berupa komoditi riil berupa emas dan perak yang memiliki nilai intrinsik sebesar nilai uang yang dimaksud – uang komoditi ini memiliki sejarah keberhasilan yang sangat panjang selama ribuan tahun. Kedua adalah uang yang berupa janji (promisory money) yang di backed-up dengan emas, perak atau komoditi riil lainnya. Uang yang berupa janji ini dapat ditukar dengan uang komoditi apabila diperlukan oleh pemegang uang janji tersebut. Uang jenis kedua ini juga relatif lama bertahan lebih dari dua abad meskipun beberapa kali juga ditinggalkan orang. Ketiga adalah uang fiat yang tidak memiliki nilai intrinsik dan juga tidak di backed-up dengan apapun. Uang fiat adalah uang yang diciptakan dari awang-awang(dari sesuatu yang tidak berharga seperti kertas), satu-satunya alasan mengapa orang bisa menerimanya adalah karena kepercayaan terhadap siapa yang mengeluarkan uang fiat tersebut. Bila kepercayaan ini terganggu sedikit saja, maka uang fiat menjadi tidak ada harganya. Karena sifatnya yang demikian, dalam sejarah uang fiat selalu gagal – yang membedakannya hanya masalah waktu, satu uang fiat lebih cepat mengalami kegagalan dibandingkan dengan yang lain. Uang Rupiah kita misalnya hanya bertahan antara 20 – 30 tahun, setelah itu mengalami Sanering Rupiah(seperti tahun 1965) atau kalau tidak angka nolnya terus bertambah (sejak 1997). Uang Dollar Amerika-pun demikian, uang Dollar tersebut nilainya tinggal 5.5% dibandingkan nilai yang seharusnya apabila pemerintah Amerika memenuhi janjinya di Bretton Woods.
Yang tentu juga tidak terbayang oleh para Imam mazhab tersebut adalah kedhaliman dan ketidak adilan yang lebih besar yang ditimbulkan oleh sistem uang fiat yang kemudian jumlahnya bisa digelembungkan dengan apa yang disebut fractional reserve banking. Dengan cadangan wajib yang hanya 5 % di Indonésia, secara teoritis perbankan di Indonésia dapat melakukan penciptaan uang (money creation) sampai 20 kali lipat dari cadangan yang dimilikinya. Uang ciptaan sistem perbankan ini yang disebut uang bank atau uang giral hanya bisa di peroleh dan dipergunakan oleh sekelompok kecil penduduk, yaitu penduduk yang memiliki akses perbankan. Disaat sebagian terbesar penduduk negeri ini bersusah payah bekerja untuk memperoleh rupiah demi rupiah uang fiatnya, ternyata yang mereka peroleh secara keseluruhan tidak mencapai 5% dari keseluruhan uang dalam arti luas (uang kartal dan uang giral) yang berputar di negeri ini. Sementara sekelompok kecil lainnya, dengan leluasa menguasai akses ke 95% uang yang ada (berupa uang bank yang diciptakan benar-benar dari awang-awang, dari kertaspun kadang tidak), dengan uang bank inilah aset-aset nyata negeri ini berupa tanah, hutan dan sumber-sumber produksi lainnya dikuasai oleh segelintir orang saja di negeri ini. Dengan uang bank ini pula bahkan sekelompok kecil orang tersebut dapat membuat atau membeli kota-nya sendiri.
Dampak ketidak-adilan berikutnya dari uang fiat dan fractional reserve banking adalah inflasi yang ditimbulkannya. Sebagian besar umat mungkin tidak menyadari bahwa inflasi sesungguhnya adalah suatu kedzaliman yang nyata. Inflasi adalah ‘pajak’ yang dibayar tanpa sadar oleh rakyat. Kalau Anda membeli beras 1 kg tahun ini bernilai Rp 5,000-; kemudian tahun depan beras dengan kwalitas yang sama bernilai Rp 5,500,- ; tahun berikutnya lagi harus membelinya dengan harga Rp 6,000,- maka kenaikan harga terus menerus tersebut disebut inflasi – dan masyarakat bisa menerima ini sebagai realita hidup. Pertanyaannya adalah mengapa masyarakat harus menanggung inflasi tersebut ?, padahal inflasi ini timbul karena pihak yang berwenang mencetak uang terus untuk alasan pembiayaan negara, uang ini disalurkan ke perbankan dan sejenisnya dengan berbagai nama seperti Surat Utang Negara, Obligasi, Bond dlsb. kemudian dari yang terakhir ini uang tersebut digandakan melalui proses money creation yang dimungkinkan oleh sistem fractional reserve banking, maka jadilah jumlah uang yang berlipat-lipat. Jumlah uang yang tumbuh secara berlipat-lipat tanpa didukung dengan pertumbuhan produksi barang dan jasa yang seimbang inilah yang menimbulkan kenaikan harga barang-barang dan jasa yang disebut inflasi – dan masyarakatlah yang harus menanggungnya !.
Karena realita tersebut diatas, lantas apakah mungkin Fiqih yang dilahirkan oleh Imam-Imam mazhab yang yang terkenal keshalehan dan keadilannya juga sebagai para pewaris Nabi, dapat dijadikan alat untuk membenarkan praktek yang jelas ketidak adilan dan kedzalimannya ? kita lihat jawabannya dalam ulasan berikut.
Terdapat berbagai penafsiran dari para ulama fiqih yang hidup di zaman ini dalam menyikapi hukum yang terkait dengan uang kertas atau uang Fiat yang terutama telah berkembang begitu jauh tersebut.
Sejak konsep uang kertas yang didukung penuh oleh emas atau gold standard diperkenalkan pada dua abad lalu (promisory money), bolak-balik ditinggalkan dan kemudian dipakai lagi, kemudian ditinggalkan lagi sampai sekarang, posisi uang kertas atau uang fiat tersebut memang masih sering diberdebatkan keberadaannya dalam Ilmu Fiqih. Setidaknya ada lima pendekatan pemikiran yang ada dikalangan ulama sekarang dalam menafsirkan posisi uang kertas ini, berikut adalah pemikiran-pemikiran tersebut :
1. Pendapat pertama memperlakukan uang kertas sebagai surat hutang atau bond yang dikeluarkan sebagai bukti penerimaan deposit emas atau perak oleh pihak yang mengeluarkan bond tersebut (dalam hal ini bank sentral atau pihak lain yang memiliki wewenang mengeluarkan uang kertas). Pendapat yang antara lain dilahirkan oleh ulama-ulama Al Azhar Cairo ini sejalan dengan perkembangan awal uang kertas, yang memang berasal dari para tukang emas yang mengeluarkan bukti atau tanda terima atas titipan emas nasabah-nasabahnya. Masalahnya adalah apabila uang dianggap sebagai surat hutang maka (dalam hukum fiqih ini dianggap sebagai dayn) hukum-hukum yang terkait dengan hutang piutang berlaku. Dalam hukum hutang-piutang misalnya, tidak dijinkan hutang ditukar dengan hutang atau dayn bi-l-dayn artinya uang kertas yang satu tidak bisa dipertukarkan dengan uang kertas lainnya. Apabila penafsiran ini yang dipakai maka uang kertas hanya bisa digunakan secara sangat terbatas. Karena keterbatasan ini maka penafsiran uang kertas sebagai surat hutang atau bond tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan atas uang tersebut. Lebih jauh realita sekarang menunjukkan bahwa uang fiat yang dikeluarkan pemerintah tidak didasarkan pada deposit emas atau perak atau kekayaan riil lainnya; penafsiran ini hanya relevan apabila ada deposit sebesar uang yang dikeluarkan tersebut. Jadi penafsiran ini tidak sepenuhnya bisa diterima untuk uang fiat dan uang bank yang dipakai untuk transaksi di zaman ini.
2. Pendapat kedua memperlakukan uang kertas sebagai suftaja , dalam penafsiran ini uang kertas dianggap sebagai pengganti nilai (athman) atas emas dan perak. Sebagai pengganti emas dan perak maka uang kertas dianggap memiliki karakteristik yang sama dengan emas dan perak. Dalam pemahaman ini, uang kertas yang dikeluarkan oleh suatu pemerintah dianggap seolah-olah emas dan perak sebagaimana asalnya uang dibuat. Pendapat ini antara lain dianut oleh departemen risetnya Islamic Development Bank. Dalam tataran sejarah pendapat ini ada masuk akalnya karena memang uang kertas selama ini berperan sebagai uang sebagaimana dahulu emas dan perak berperan. Karena dianggap sama dengan emas dan perak maka masalah yang terkait dengan larangan dayn-bi-l-dayn dapat diatasi. Masalahnya adalah apabila uang kertas dianggap sebagai pengganti emas dan perak, maka pemegang uang kertas dan perak harus benar-benar bisa menukar uangnya dengan emas dan perak setara dengan nilai yang tertulis di uang tersebut – apabila mereka menginginkannya. Ini berarti pihak yang mengeluarkan uang kertas harus selalu mendukung uang kertasnya dengan emas dan perak sejumlah minimal yang sama dengan jumlah uang yang dikeluarkan – atau dalam ilmu moneter disebut 100% reserve system. Apabila pemikiran ini diterapkan secara konsisten maka uang kertas yang tidak didukung oleh 100% reserve harus dianggap sebagai uang palsu, karena apabila masyrakat pemegang uang kertas seluruhnya ingin menukar uangnya dengan emas atau perak – jumlah emas dan perak yang dimiliki oleh pihak yang mengeluarkan uang kertas tersebut pasti tidak cukup.
3. Pendapat ketiga memperlakukan uang kertas sebagi fulus yang memang keberadaannya diakui di awal-awal perkembangan Islam. Namun secara historis fulus ini hanya digunakan secara terbatas dimana kepercayaan pelaku ekonomi terjaga, dan juga hanya digunakan untuk transaksi yang nilainya kecil. Penggunaan fulus secara luas (kenyataan yang dihadapi oleh uang kertas sekarang) berpotensi menimbulkan ketidak pastian yang sangat tinggi (gharar) atas nilai fulus tersebut karena fulus memang tidak didukung dengan nilai intrinsik yang bisa diandalkan. Ketidak pastian nilai atas fulus yang juga terjadi pada mata uang kertas ini, menimbulkan praktek pertukaran uang yang sama dengan jumlah yang berbeda – yang terlarang karena ini tergolong riba al-fadl.
4. Pendapat keempat menganggap uang sebagai barang seperti juga barang-barang lainnya. Dalam pengertian uang sebagai barang maka nilainya mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Yang menjadi masalah adalah dengan mudahnya uang kertas dicetak dengan biaya yang murah (karena kertas memang murah), maka penawaran atau supply atas uang kertas bisa dipermainkan relative tanpa batas oleh pihak yang mempunyai wewenang mengeluarkan uang kertas. Apabila supply terus meningkat sedangkan permintaan atau demand relatif stabil, maka yang terjadi adalah sudah pasti nilai uang ini akan turun terus menerus – hal ini menimbulkan ketidak adilan yang nyata terhadap siapapun yang memegang uang kertas tersebut.
5. Pendapat kelima menganggap uang sebagai salah satu alat tukar (thaman) diantara thaman-thaman lainnya seperti emas, perak dan fulus. Pendapat ini dianut diantara ulama-ulama Arab Saudi. Masalah yang menonjol dari pendapat ini adalah nilai uang kertas sekarang yang tidak bisa dianggap sama dengan emas dan perak. Nilai uang kertas akan cenderung turun, kecenderungan penurunan nilai ini hanya bisa dicegah dengan dukungan kekayaan yang sesungguhnya (real assets ) dari pihak yang mengeluarkan uang kertas tersebut. Di Arab Saudi nilai uang kertasnya Riyals memang relative stabil, hal ini karena dukungan kekayaan negara tersebut berupa minyak yang sementara ini masih melimpah, apabila kekayaan tersebut menurun – maka nilai uang akan ikut menurun. Pendapat ini juga tidak berlaku untuk negara-negara yang tidak memiliki dukungan kekayaan yang jelas dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tanpa dukungan kekayaan yang nyata maka masalah nilai yang terus menurun akan menimbulkan ketidak pastian yang nyata – gharar – sama dengan masalah di pendapat ketiga dan keempat. Untuk ini perlu kita perhatikan Hadits, ” Rasulullah melarang jual beli yang mengandung gharrar” (HR. Muslim, Tirmizi, Nasa’i, Abu daud, Ibnu Majah dan Abu Hurarirah).
Meskipun masing-masing penafsiran tersebut diatas mempunyai kekurangannya sendiri–sendiri, boleh dibilang seluruh pemikiran ulama kontemporer tentang uang kertas memberikan kesimpulan yang hampir sama yaitu bahwa uang kertas atau uang fiat adalah halal dan kami belum ketemu pendapat yang mengharamkannya. Keputusan senada juga dihasilkan oleh pertemuan Majma’ Fiqih Islami tahun 1986 yang antara lain dihadiri ulama-ulama besar DR. Yusuf Qaradhawi dan DR. Wahbah Zuhaily . Jadi tentu bukan maksud kami yang menulis buku ini untuk bertentangan pendapat dengan para ulama besar tersebut.
Pada saat yang bersamaan kita juga harus Adil dalam menggunakan pendapat para ulama besar tersebut. Apabila uang kertas dilihat sebagai uangnya saja dan manfaat yang ditimbulkannya untuk bermuamalah tentu uang ini halal untuk bermuamalah (karena kalau tidak halal-untuk sementara ini kita pakai apa ?), namun lebih jauh dari ini fatwa para ulama tersebut hendaknya juga jangan dijadikan alasan untuk menjustifikasi atau menghalalkan kedhaliman atau ketidak adilan yang terkait dengan uang kertas seperti dalam beberapa contoh kasus berikut :
1. Belajar dari kekayaan umat Islam Indonesia yang pernah jatuh tinggal seperempatnya dalam beberapa bulan karena nilai rupiah yang dibiarkan hancur atau sengaja dihancurkan untuk kepentingan politik pihak tertentu seperti tahun 1997-1998. Bolehkan seseorang atau institusi atau negara lain mempermainkan nilai uang kertas yang kemudian menimbulkan kerusakan di negeri lain ? tentu tidak boleh. Namun karena kita tidak bisa mencegah perilaku dzalim dari pihak-pihak luar tersebut, lantas apakah kita boleh tinggal diam dan membiarkan diri kita di dzalimi lagi dan lagi ? jawabannya juga tidak boleh – artinya kita harus berbuat sesuatu untuk bisa membebaskan diri kita dari kedzaliman yang sudah terbukti tersebut. (Lihat pada sub bab Kehancuran yang Ditimbulkan oleh Uang Kertas)
2. Uang fiat yang digelembungkan melalui proses resmi yang disebut money creation menjadi uang bank yang di Indonesia secara teoritis jumlahnya bisa mencapai 20 kali dari uang fiat tersebut, kemudian uang bank ini dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki akses perbankan. Selanjutnya akses istimewa dari segelintir orang tersebut dipakai untuk menguasai mayoritas sumber-sumber ekonomi negeri ini. Bolehkan ketidak adilan ini di justifikasi dengan kehalalan uang kertas ? tentu tidak boleh.
3. Sifat uang fiat yang terbukti terus menerus turun sehingga untuk ber-muamalah jangka panjang perlu kehati-hatian khusus agar tidak terjebak dalam muamalah yang mengandung gharar. Ambil contoh berikut :
Anda menjual rumah kepada teman Anda tahun 1997 yang akan dibayar tahun berikutnya yaitu tahun 1998. Rumah tersebut dihargai Rp 1 Milyar. Ketika tahun 1998 teman anda benar-benar membayar Rp 1 Milyar sesuai janjinya, apakah ini adil ?. Rp 1 Milyar tahun 1997 = US$ 417,000; Rp 1 Milyar tahun 1998 = US$ 71,000.
Contoh lain, Anda mengimpor mesin untuk pabrik Anda senilai US$ 1,000,000 (Alawalnya setara Rp 2.4 Milyar) awal 1997 dan akan dibayar pada saat delivery tahun 1998. Ketika delivery tahun 1998 Anda tidak bisa membayar sejumlah uang sesuai kontrak pembelian US$ 1,000,000,-(menjadi Rp 14 Milyar !) karena nilainya menjadi terlalu besar dalam hitungan uang Anda yang Rupiah. Lantas siapa yang salah ?
Dua contoh diatas rasanya cukup menggambarkan betapa nilai daya beli uang yang tidak bisa diandalkan telah menimbulkan jual beli yang mengandung gharar yang nyata. Dengan tidak se-ekstrim tahun 1997-1998, penurunan nilai tersebut terus terjadi setiap saat. Lantas bagaimana adilnya ?, apakah penurunan tersebut bisa dikompensasi dengan harga yang dibayar lebih karena pembayaran yang ditunda ? belum tentu juga, karena penambahan harga oleh sebab pembayaran yang ditunda ini akan dapat menimbulkan Riba. Jadi penggunaan uang fiat yang nilainya terus mengalami penurunan atau tidak stabil untuk muamalah jangka panjang berpotensi menimbulkan gharar ataupun riba yang keduanya dilarang dalam Islam.
Sekali lagi oleh karena manfaat kepraktisannya atau alasan lain kita dapat secara halal menggunakan uang kertas pada zaman modern ini. Meskipun demikian perlu diperhatikan bahwa penggunaannya tidak boleh menimbulkan ketidak adilan dan tidak boleh menimbulkan transaksi yang mengandung gharar maupun riba.
Untuk ini kami sependapat dengan Islamic Development Bank yang menafsirkan penggunaan uang kertas sebagai suftaja atau pengganti fungsi emas dan perak sebagai uang atau alat tukar saja. Meskipun demikian perlu ditambahkan agar tidak menimbulkan ketidak pastian atas nilai uang kertas tersebut yang menimbulkan gharar dan ketidak adilan bagi pennggunanya, maka uang kertas ini harus didukung dengan 100% reserve system. Reserve tersebut juga bukan berasal dari uang kertas atau uang fiat – tetapi harus dengan asset riil seperti emas, perak, minyak atau kekayaan lain yang dimiliki oleh Negara yang mengeluarkan uang kertas tersebut. Apabila prasyarat ini tidak dapat dipenuhi maka untuk menghindari transaksi yang mengandung gharar, uang kertas harusnya hanya digunakan untuk transaksi tunai dimana nilai uang kertas diketahui daya belinya secara bersama pada saat transaksi oleh pihak-pihak yang melakukan transaksi.
Oleh karena permasalahan-permasalahan tersebut maka jelas kelihatan bahwa langkah terbaik bagi umat ini adalah apabila kita bisa kembali kepada Dinar dan Dirham yaitu dua mata uang yang memang tidak bisa dilepaskan dari ajaran Islam ini.
Penggunaan Dinar dan Dirham bukan hanya uang secara fisik, tetapi juga aturan-aturan yang terkait dengan Dinar dan Dirham tersebut. Berikut adalah inti aturan main dari penggunaan uang Dinar dan Dirham tersebut :
Pertama adalah unsur bunga (riba) harus dihilangkan dari keseluruhan system moneter Islam, diganti dengan system bagi hasil (Qirad/Mudharabah) atau kerja sama usaha (Musyarakah). Kedua system perbankan harus diubah ke 100% reserve system untuk mengeliminir manipulasi supply uang oleh dunia perbankan seperti yang terjadi dalam fractional reserve banking selama ini.
Hilangnya Riba dan melembaganya sistem bagi hasil atau kerjasama usaha akan menghilangkan persaingan antara keputusan masyarakat untuk menabung atau berinvestasi di sektor riil. Dalam system yang ribawi, keputusan investasi di sector riil selalu bersaing dengan keputusan untuk menabung- dan lebih seringnya yang terakhir ini yang menang karena orang dapat menghasilkan uang dari uang tanpa risiko – inilah yang terlarang dalam Islam. Dengan tidak adanya rivalitas antara investasi dengan menabung maka kegiatan investasi akan marak, produksi barang dan jasa tersedia cukup dan lapangan kerja tersedia untuk semua penduduk – ini benar-benar pernah terjadi di zaman kemakmuran Islam, jadi bukan sebatas teori tetapi sistem yang benar-benar bisa jalan dan memang pernah dijalankan.
Sistem bagi hasil yang menggantikan system Ribawi akan menciptakan system yang adil antara pemodal dan pengusaha dengan menyepakati persentase pembagian hasil dari awal dan akan ada pooling out of risk yang sepadan. Apabila hal ini dijalankan oleh perbankan, maka mutlak perbankan harus terlibat langsung dalam proses investasi dimana pendapatan mereka akan ditentukan berdasarkan persentase pembagian keuntungan yang disepakati didepan dan bukan dari bunga.
Dengan tidak adanya sistem bunga, bank central juga harus me-redefinisi alat-alat moneternya. Misalnya discount rate yang selama ini dipakai dapat diganti dengan Soverign Profit Sharing (SPS) . Pendapatan pemerintah dari kegiatan bank sentral yang selama ini bersifat Ribawi digantikan dengan pendapatan bank central dari bagi hasil, sehingga dari pendapatan yang tidak tercampur Riba inilah pemerintah dapat menggaji pegawai-pegawainya secara lebih bersih.
Sistem bebas Riba yang dipadu dengan 100% reserve system akan mendorong distribusi uang yang lebih adil karena uang tidak bisa ‘dikuasai’ oleh bank melalui proses penciptaan uang bank atau creation of bank money. Uang akan mengalir dari central bank ke bank-bank yang mampu memberikan bagi hasil yang baik – yaitu bagi hasil yang diperoleh dari pembiayaan sector riil – bukan bunga dari perputaran uang di pasar uang.
Rabu, 12 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar