Awalnya pihak yang berwenang (umumnya bank sentral) mencetak uang fiat tanpa didasari oleh adanya cadangan emas yang seharusnya, kemudian uang ini digandakan oleh dunia perbankan melalui konsep fractional reserve banking melalui proses yang disebut penciptaan uang atau money creation. Melalui proses ini bank komersial hanya diwajibkan memiliki sejumlah cadangan tertentu – misalnya di Indonesia yang disebut Giro Wajib Minimum 5 % dari dana pihak ketiga yang dikelola oleh bank yang bersangkutan. Jadi misalnya Bank A yang menerima dana masyarakat sebesar Rp 20 milyar hanya wajib memiliki cadangan Rp 1 Milyar, sisanya sebesar Rp 19 Milyar dapat dipinjamkan ke pihak lain. Neraca T untuk transaksi tersebut akan terlihat sebagai berikut :
Neraca T Bank A
Cadangan Rp 1,000,000,000 Deposit Rp 20,000,000,000
Pinjaman Rp 19,000,000,000
Kemudian dari deposito tersebut tentu bank akan memberikan bunga, misalnya 8 %. Dan Bank juga menarik bunga dengan tingkat yang lebih tingi ke debiturnya – karena dari sinilah bank hidup – misalnya bunga pinjaman tersebut 12 %. Maka setelah ditambahkan bunganya, Deposito menjadi Rp 21.6 Milyar, angka pinjaman menjadi Rp 21.28 Milyar dan Neraca T menjadi sebagai berikut :
Neraca T Bank A
Cadangan Rp 1,000,000,000 Deposit Rp 21,600,000,000
Pinjaman Rp 21,280,000,000 Keuntungan Rp 680,000,000
Dari neraca tersebut terlihat bahwa cadangan yang hanya Rp 1 Milyar tidak lagi cukup untuk menjadi cadangan wajib dari deposit yang Rp 21.6 milyar, maka pihak bank akan terus mengejar keseimbangan (yang sebenarnya tidak pernah tercapai) tersebut dengan penambahan uang fiat, penambahan cadangan dan terus mengucurkan kredit. Implikasi dari adanya bunga akan membuat perbankan akan secara terus menerus menambah jumlah uang beredar, baik uang fiat maupun uang bank (uang giral) . Pihak ketiga yang mendapatkan pinjaman sebesar Rp 19 Milyar (atau Rp Rp 21.28 Milyar bila termasuk bunga) bisa saja bukan merupakan sektor riil yang akan menggunakan uang pinjamannya untuk kegiatan produksi, pihak ketiga ini bisa berupa Bank lain sebut saja misalnya Bank B. Bank B yang mendapatkan pinjaman sebesar Rp 21.28 Milyar (termasuk bunga), akan mencatatnya sebagai deposit baru Rp 21.28 Milyar, mencadangkan 5 %nya atau Rp 1.09 Milyar dan meminjamkan lagi sisanya yang Rp 20.19 Milyar (plus bunga 14% misalnya menjadi Rp 24.17 Milyar) ke pihak lain – yang cilakanya bisa juga berupa bank lagi. Proses ini terus demikian berputar diantara sejumlah bank sampai tidak ada yang bisa dipinjamkan lagi.
Untuk setiap cadangan baru yang didepositokan di bank, sistem perbankan secara keseluruhan dan secara bersama-sama (tidak bisa dilakukan oleh satu bank saja) akan menciptakan berlipat-lipat uang bank (di Indonesia secara teoritis bisa sampai 20 kali lipat karena cadangan wajib hanya 5%). Ilustrasi kebrikut akan memudahkan kita memahami penggelembungan jumlah uang melalui proses money creation tersebut .
Gambar I. 1. Proses Penciptaan Uang (Money Creation) oleh Perbankan.
Apabila pinjaman disalurkan ke sektor riil yang meningkatkan produksi dan menciptakan lapangan kerja, maka hal ini akan bermanfaat bagi masyarakat karena produksi naik bersamaan juga daya beli masyarakat naik, artinya ada yang menyerap produksi tambahan atau dengan kata lain kenaikan kebutuhan diimbangi dengan kenaikan produksi barang sehingga tidak terjadi kenaikan harga-harga.
Namun kenyataannya yang terjadi di pasar, tidak selalu demikian. Kredit tidak selalu mengalir ke sektor riil, kredit bisa atau bahkan mayoritas lari ke sektor yang tidak produktif seperti properti dan juga kembali ke sektor keuangan (pasar uang atau pasar modal) – sehingga dampaknya tidak meningkatkan produksi atau produksi yang ditimbulkan tidak sepadan dengan kenaikan jumlah uang. Ketika jumlah uang terus naik namun produksi tidak naik, maka akan terjadi kenaikan harga-harga atau inflasi yang menyengsarakan rakyat.
Dipinjamkan ke sector riil-pun apabila sector tersebut tidak langsung berhubungan dengan produksi kebutuhan mayoritas masyarakat, maka kenaikan jumlah uang bank tersebut juga tidak berguna bagi masyarakat – malah akan menjadi beban masyarakat. Ambil contoh misalnya uang bank untuk menguasai tanah yang luas untuk lapangan golf dan property lain berupa rumah-rumah mewah di sekitar lapangan golf tersebut yang tidak pernah ditinggali secara permanen oleh pemiliknya.
Apabila uang bank tersebut mengalir ke sector yang tidak produktif seperti pada investasi property tersebut diatas, maka harga property akan naik terus menerus melebihi harga yang wajar untuk properti tersebut. Demikian juga apabila uang bank dipakai untuk bermain di pasar saham, maka harga saham juga demikian, akan naik terus tanpa didukung oleh pertumbuhan produksi sektor riil. Cepat atau lambat para pelaku pasar akan segera menyadari kekeliruannya berinvestasi di property atau saham tersebut dengan harga-harga yang terlalu mahal dan menggunakan uang pinjaman, ketika mereka sadar – rata-rata sudah terlambat – maka terjadilah krisis ekonomi seperti yang kita alami tahun 1997-1998.
Ketika krisis terjadi, harga saham dan properti hancur, bank-bank menyita asset para debitur tetapi tidak laku lagi dijual. Banyak perusahaan bangkrut, lapangan pekerjaan menghilang dan kemiskinan terus membubung. Ketika kemiskinan merajalelala dan angka pengangguran begitu tinggi, sungguh tidak mudah bagi siapapun. Pada saat buku ini ditulis, akhir 2006 – atau 9 tahun sejak krisis bermula - belum nampak benar ekonomi di negeri ini pulih. Bahkan yang terjadi sebaliknya, jumlah penduduk miskin mencapai 39.5 juta dan pengangguran mencapai 11 % . Dilain pihak para pemain saham berpesta pora kembali dengan harga-harga saham yang kembali membubung tinggi yang ditandai dengan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) melampui titik tertingginya dalam sejarah yaitu mencapai angka 1,805 .
Kita tahu dari krisis sebelumnya bahwa harga-harga saham yang tinggi yang tidak didukung oleh pertumbuhan sektor riil bisa menjadi awal dari krisis berikutnya. Lantas apakah kita akan mengalami krisis berikutnya sementara akibat dari krisis 9 tahun lalu belum pulih benar ?, hanya Allah yang tahu jawabannya.
Lebih buruk dari krisis ekonomi adalah krisis keadilan ekonomi seperti yang kita rasakan sekarang. Betapa sumber-sumber ekonomi seperti tanah yang luas di dalam dan seputar kota besar seperti Jakarta, pusat-pusat perdagangan dan industri-industri bahan pokok semua dikuasai oleh segelintir orang dengan menggunakan uang bank atau uang giral, uang yang diciptakan oleh perbankan dari awang-awang seperti diilustrasikan di Gambar I.1. Masyarakat luas yang tidak memiliki akses terhadap kapital atau uang bank ini makin lama makin termarginalkan.
Kita sebagai bangsa yang merdeka telah memiliki pengalaman yang begitu pahit, bahwa karena kita tidak menggunakan mata uang yang benar-benar memiliki nilai intrinsik seperti Dinar dan Dirham, mata uang kita begitu mudah hancur atau dihancurkan. Dampak kehancuran mata uang ini tidak berhenti disini, yang paling menyedihkan adalah kita benar-benar bisa kehilangan kedaulatan atas negeri ini – minimal kedaulatan ekonomi. Masih segar di ingatan kita, bagaimana pada tanggal 15 Januari 1998, Presiden Republik ini harus mengikuti kemauan IMF dengan menanda tangani 50 butir kesepakatan. Di butir-butir tersebut-lah Indonesia kehilangan kedaulatan ekonominya sejak 15 Januari 1998 . Berikut adalah sebagian kecil dari butir-butir kesepakatan dengan IMF (International Monetary Fund) yang menunjukkan bahwa kedaulatan ekonomi dan moneter itu lepas dari tangan kita :
1. Pemerintah diharuskan membuat Undang-Undang Bank Indonesia yang otonom, dan akhirnya pemerintah memang membuat undang-undang yang dimaksud, maka lahirlah Undang-undang no 23 tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Pertanyaannya adalah, seandainya Indonesia masih berdaulat mengapa untuk membuat Undang-Undang yang begitu penting harus dipaksakan oleh pihak asing ?. Kalau Undang-Undangnya dipaksakan oleh pihak asing – yang diwakili oleh IMF waktu itu, terus untuk kepentingan siapa Undang-Undang ini dibuat ?. Dalam salah satu pasal Articles of Agreement of the IMF (Arcticle V section 1) memang diatur bahwa IMF hanya mau berhubungan dengan bank sentral dari negara anggota, lahirnya Undang-Undang no 23 tersebut tentu sejalan dengan kemauan IMF. Lantas hal ini menyisakan pertanyaan besar – siapa yang mengendalikan uang di negeri ini ?. Dengan Undang-undang ini Bank Indonesia memang akhirnya mendapatkan otonominya yang penuh, tidak ada siapapun yang bisa mempengaruhinya (Pasal 4 ayat 2) termasuk Pemerintah Indonesia. Tetapi ironisnya justru Bank Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh IMF karena harus tunduk pada Articles of Agreement of the IMF seperti yang diatur antara lain dalam beberapa contoh pasal-pasal berikut :
a. Article V Section 1, menyatakan bahwa IMF hanya berhubungan dengan bank sentral (atau institusi sejenis, tetapi bukan pemerintah) dari negara anggota.
b. Article IV Section 2, menyatakan bahwa sebagai anggota IMF harus mengikuti aturan IMF dalam hal nilai tukar uangnya, termasuk didalamnya larangan menggunakan emas sebagai patokan nilai tukar.
c. Article IV Section 3.a., menyatakan bahwa IMF memiliki hak untuk mengawasi kebijakan moneter yang ditempuh oleh anggota, termasuk mengawasi kepatuhan negara anggota terhadap aturan IMF.
d. Article VIII Section 5, menyatakan bahwa sebagai anggota harus selalu melaporkan ke IMF untuk hal-hal yang menyangkut cadangan emas, produksi emas, export import emas, neraca perdagangan internasional dan hal-hal detil lainnya.
Pengaruh IMF terhadap kebijakan-kebijakan Bank Indonesia tersebut tentu memiliki dampak yang sangat luas terhadap Perbankan Indonesia karena seluruh perbankan di Indonesia dikendalikan oleh Bank Indonesia. Dampak lebih jauh lagi karena perbankan juga menjadi tulang punggung perekonomian, maka perekonomian Indonesiapun tidak bisa lepas dari pengaruh kendali IMF. Butir-butir sesudah ini hanya mendambah panjang daftar bukti yang menunjukkan lepasnya kedaulatan ekononomi itu dari pemimpin negeri ini.
2. Pemerintah harus membuat perubahan Undang-Undang yang mencabut batasan kepemilikan asing pada bank-bank yang sudah go public. Inipun sudah dilaksanakan, maka ramai-ramailah pihak asing menguasai perbankan di Indonesia satu demi satu sampai sekarang.
3. IMF pula yang mendorong merger empat bank pemerintah menjadi satu dan mendorong satu lagi bank pemerintah untuk go publik. Apa manfaatnya bagi IMF langkah ini, tentu kawan-kawan yang bergerak di dunia perbankan lebih tahu.
4. Pemerintah Indonesia harus secara bertahap menurunkan tariff pajak untuk produk pertanian non-pangan dari luar sampai akhirnya tercapai maksimum pajak 10 %. Ini tentu akan membuat produk pertanian non-pangan asing menjadi sangat kompetitif di pasar ini dan dapat menyingkirkan produk local sejenis.
5. Pemerintah harus menurunkan tariff bahan kimia, baja, metal dan alat-alat perikanan sampai dikisaran 5%-10%. Mirip dengan no 4, produsen lokal pelan-pelan bisa tersingkir oleh pemain asing.
6. Pemerintah harus menurunkan pajak export untuk kayu gelondongan, kayu gergajian, rotan dan mineral maximum pada angka 30%. Dampak dari hal ini adalah berpindahnya proses yang memberi nilai tambah dari dalam negeri ke luar negeri. Indonesia dikeruk hasil hutan dan mineralnya dengan nilai tambah yang minimal, nilai tambah yang lebih besar dinikmati oleh para pemain asing.
7. Pemerintah harus mencabut larangan export minyak sawit dan boleh menggantinya dengan pajak export maximum 40 %. Minyak goreng yang sangat dibutuhkan oleh penduduk negeri ini, yang waktu itu sempat langka – justru harus di export lagi-lagi untuk kepentingan pihak asing – dimana lagi mereka bisa memperoleh minyak sawit yang masih murah ?.
8. Pemerintah harus menambah saham yang dilepas ke publik dari Badan Usaha Milik Negara, minimal hal ini harus dilakukan untuk perusahaan yang bergerak di telekomunikasi domestik maupun internasional. Diawali kesepakatan dengan IMF inilah dalam waktu yang kurang dari lima tahun akhirnya kita benar-benar kehilangan perusahaan telekomunikasi kita yang sangat vital yaitu Indosat.
Hal-hal tersebut diatas, baru 8 dari 50 butir kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF. Namun dari contoh-contoh ini, dengan gamblang kita bisa membaca begitu kentalnya kepentingan korporasi asing besar, pemerintah asing dan institusi asing (yang oleh John Perkins disebut sebgai korporatokrasi ) yang mendiktekan kepentingan mereka ketika kita dalam posisi yang sangat lemah, yang diawali oleh kehancuran atau penghancuran nilai mata uang Rupiah kita.
Penjajahan ekonomi ala IMF ini mirip dengan catatan sejarah kita 400 tahun lalu, berikut petikannya :
Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala.
VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa itu, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.
Jadi kehilangan kedaulatan dibidang ekonomi yang kita alami sekarang sebenarnya hanya pengulangan sejarah yang pernah terjadi di Indonesia empat abad silam, secara visual kehilangan kedaulatan ini seolah tercermin dari foto yang menghiasi halaman media masa setelah kesepakatan tersebut ditanda tangani oleh Presiden Republik Indonesia didepan petinggi IMF saat itu - Michel Camdessus.
Mirip juga dengan VOC yang menjajah Indonesia 400 tahun yang lalu, penjajahan ekonomi ala IMF juga dapat menjadi penyebab (atau paling tidak ikut mendorong) kejatuhan sebuah pemerintahan di negara yang seharusnya berdaulat seperti Indonesia. Berikut fakta yang terkait dengan uang Rupiah, Keterlibatan IMF dan kejatuhan Presiden Republik Indonesia tahun 1998 menurut versi Steve H. Hanke – profesor ekonomi terapan dari John Hopkin University, beliau ini adalah ekonom yang pernah diundang Presiden R.I untuk memberi solusi alternatif selain solusi IMF yang waktu itu sebenarnya sudah diragukan :
• Akhir Januari 1998 Presiden Republik Indonesia meragukan kemanjuran obat yang ditawarkan IMF untuk menyembuhkan rupiah yang hancur, oleh karenanya dicari solusi diluar IMF yang kemudian terkenal dengan istilah Currency Board yaitu membuat Rupiah memiliki kurs tetap terhadap Dollar Amerika pada nilai tertentu. Solusi alternatif ini ternyata membuat IMF dan pemerintah Amerika Serikat sangat marah. Bill Clinton dan Michel Camdessus (direktur IMF waktu itu) mengancam Indonesia mau memilih solusi Currency Board atau bantuan pinjaman US$ 43 milyar untuk menyelesaikan krisis yang sedang dialami.
• Serangan terhadap Currency Board bertubi-tubi, bukan hanya dari Amerika Serikat dan IMF, namun juga dari para ekonom Indonesia sendiri. Dukungan terhadap solusi Currency Board yang sebenarnya juga ada, malah dukungan ini datang dari para ekonom pemenang hadiah Nobel dibidang ekonomi seperti Gary Becker , Milton Friedman , Merton Miller dan Robert Mundell . Namun dukungan ini kalah publikasi dengan yang menentangnya. Maka akhirnya ide Currency Board ditinggalkan.
• Ketika ide alternatif berupa Currency Board ditinggalkan, toh akhirnya solusi IMF terbukti tidak juga manjur menyembuhkan krisis moneter Indonesia. Bersamaan dengan terus memburuknya Rupiah ini jatuhlah pemerintahan Indonesia waktu itu.
• Kesengajaan IMF dan pemerintah Amerika untuk menggunakan kehancuran rupiah untuk alasan politis waktu itu terungkap dari komentar Perdana Menteri Australia Paul Keating, ”Treasury Amerika Serikat telah sungguh dengan sengaja menggunakan kehancuran ekonomi untuk mengeluarkan Presiden Suharto”.
• Pengakuan juga datang dari Lawrence Eagleberger yang waktu itu menjabat sebagai US Secretary of State, ”Kita telah dengan sangat cerdik mendukung IMF untuk mengusir Suharto”.
• Bahkan peran politik IMF ini akhirnya diakui sendiri oleh Michel Camdessus pada saat menjelang pensiunnya, ”Kita telah menciptakan kondisi yang memaksa Presiden Suharto meninggalkan pekerjaannya”.
Karena buku ini bukan buku politik, maka kita tidak membahas kebenaran sejarah versi salah satu pelaku tersebut, kami juga tidak memihak apakah Presiden Republik Indonesia harus jatuh saat itu atau tidak. Yang ingin kami tekankan disini adalah kita bisa simpulkan bahwa uang fiat yang seharusnya netral telah terbukti dapat dipermainkan untuk kepentingan politik dengan mengorbankan kepentingan seluruh warga negara Indonesia yang mayoritasnya adalah umat Islam. Kesimpulan kedua adalah bahkan solusi yang secara ilmiah didukung oleh empat orang pemenang hadiah nobel dibidangnya sekalipun, bisa kalah oleh publikasi negatif yang digerakkan oleh kepentingan politik global. Dari sini kita bisa tahu betapa besar tantangan yang kita hadapi untuk meluruskan ekonomi umat ini agar tidak dijajah secara ekonomi terus menerus oleh kepentingan bangsa lain.
Dari tataran usaha manusia, kita tahu bahwa krisis yang pernah terjadi antara lain diawali dari uang fiat yang bisa dicetak terus menerus, yang kemudian ditumbuhkan jumlahnya oleh sistem fractional reserve banking, kemudian didorong terus menerus dengan bunga perbankan yang sudah jelas riba-nya berdasarkan keputusan Majelis Ulama Indonesia. Setelah kita tahu bahwa sistem inilah yang menyebabkan krisis yang sulit disembuhkan bahkan ada gejala kekambuhan krisis berikutnya, maka apakah tidak terfikir oleh kita untuk mencari solusi ?. Usia kita mungkin tidak panjang untuk mencari solusi yang sifatnya coba-coba atau trial and error, solusi yang akan kita bangun kali ini harus memiliki tingkat kepastian yang tinggi akan keberhasilannya. Lantas apa ada solusi yang demikian pasti hasilnya ?. Tentu ada kalau kita benar-benar beriman. Karena ini janji Allah terhadap umat akhir zaman, dengan tuntunan akhir zaman, maka apa yang dijanjikan Allah pasti benarnya dan pasti ada solusi untuk seluruh masalah manusia sampai akhir zaman – termasuk solusi atas masalah perekonomian bangsa ini.
Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. QS 65:2.
Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. QS 65:4.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar